Jama'ah renungan harian, menuntut ilmu adalah ibadah yang agung di dalam Islam. Seorang hamba dapat beribadah dengan tenang tanpa disertai kekhawatiran akan keabsahannya ketika ia membangun ibadahnya dengan ilmu. Terlebih lagi bahwa Allah ‘Azza Wajalla mengganjar surga bagi mereka yang menuntut ilmu merupakan motivasi utama yang hendaknya dimiliki oleh setiap muslim.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
وَمَن سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ له به طَرِيقًا إلى الجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga-Nya.” (HR Muslim no. 2699)
Syekh Ibn Baz rahimahullahu mengomentari hadis ini dengan mengatakan,
فهذا يبين أن طلب العلم من أسباب دخول الجنة والنجاة من النار
“Hadis ini menjelaskan bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah di antara faktor yang memasukkan seseorang ke surga dan menyelamatkan dari api neraka.”
Allah ‘Azza Wajalla berfirman tentang keutamaan orang-orang yang memiliki ilmu, yaitu dengan diangkatnya derajatnya di sisi-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis!’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, ‘Berdirilah!’, maka (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Berapa derajat? Tergantung seberapa teguh keimanannya dan seberapa meresap ilmu dalam amalnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh As-Sa’diy rahimahullahu,
والله تعالى يرفع أهل العلم والإيمان درجات بحسب ما خصهم الله به، من العلم والإيمان
“Allah Ta’ala mengangkat derajat orang-orang berilmu dan beriman beberapa derajat sesuai dengan karunia Allah pada diri mereka, berupa ilmu dan iman.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 846)
Namun, tentu saja ketika mempelajari agama Islam harus di bawah bimbingan seorang yang memiliki kepakaran, yaitu para ulama. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Syekh As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,
وعموم هذه الآية فيها مدح أهل العلم، وأن أعلى أنواعه العلم بكتاب الله المنزل. فإن الله أمر من لا يعلم بالرجوع إليهم في جميع الحوادث
“Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang pujian kepada para ulama. Seutama ilmu adalah ilmu tentang kitabullah. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang tidak paham untuk merujuk kepada ulama dalam setiap perkara.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 441)
Dan barangsiapa yang mencukupkan diri dengan buku tanpa penjelasan para ulama yang kredibel, maka ia akan mudah sekali tersesat. Sebagaimana masyhur kita dengar dari perkataan para ulama,
من كان شيخه كتابه فخطؤه أكثر من صوابه
“Barangsiapa yang hanya mencukupkan diri dengan belajar dari buku, maka ia akan lebih banyak salah paham dibandingkan benarnya.”
Kenapa demikian bisa terjadi? Syekh Ibn Baz rahimahullahu mengatakan,
أن من لم يدرس على أهل العلم ولم يأخذ عنهم ولا عرف الطرق التي سلكوها في طلب العلم، فإنه يخطئ كثيرا، ويلتبس عليه الحق بالباطل لعدم معرفته بالأدلة الشرعية والأحوال المرعية التي درج عليها أهل العلم وحققوها وعملوا بها.
“Siapa saja yang tidak belajar di bawah bimbingan ahli ilmu dan tidak tahu bagaimana metode belajar mereka, maka orang seperti ini akan banyak salah. Mereka akan sulit memilah mana yang benar dan mana yang salah, karena tidak pahamnya mereka dengan dalil-dalil syar’i dan metodologi yang ditempuh para ulama dalam belajar."
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah
Bagaimana kriteria yang disebut sebagai guru?
Secara umum, sifat-sifat kebaikan yang hendaknya dimiliki seorang mukmin juga harus ada di dalam diri seorang guru. Secara khusus Syekh Az-Zarnuji rahimahullahu menyebutkan tiga kriteria guru ideal:
Pertama: Pilihlah seorang guru yang paling alim.
Kedua: Pilihlah seorang guru yang paling wara’.
Ketiga: Pilihlah seorang guru yang lebih tua dari sisi umur.
Yang dimaksud dengan alim adalah memiliki kredibilitas dalam masalah hukum-hukum syar’i. Tidaklah seorang dijadikan seorang guru, melainkan ia telah mengetahui hal yang akan diajarkannya terlebih yang berkaitan dengan hukum Allah yang seseorang diharamkan berkata tanpa ilmu.
Allah ‘Azza Wajalla berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)
Syekh As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,
ولا تتبع ما ليس لك به علم، بل تثبت في كل ما تقوله وتفعله
“Hendaknya engkau tidak mengikuti sesuatu yang engkau tidak ada ilmu tentangnya. Akan tetapi, pastikan terlebih dahulu apa yang kau ucapkan dan perbuat.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 457)
Yang dimaksud dengan memiliki sikap wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah ‘Azza Wajalla dan perkara yang berpotensi menjadikan seseorang terjatuh ke dalam keharaman. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
إنَّ من حُسْنِ إسلامِ المرءِ تَركَهُ ما لا يَعْنِيهِ
“Di antara indikasi kebaikan agama seseorang adalah kala ia mampu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untuknya.” (HR. At-Tirmidzi 2318 dan dilemahkan oleh sebagian ulama)
Juga dalam sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang engkau yakin. Kejujuran akan melahirkan ketenangan dan kedustaan akan melahirkan keraguan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2518)
Al-Khattabi rahimahullahu mengatakan,
كل ما شككت فيه فالورع اجتنابه
“Jika ada hal yang meragukanku, maka aku segera meninggalkannya.”
Bagaimana memilih guru yang tepat?
Lantas setelah mengetahui kriteria guru yang baik, bagaimana cara memilihnya? Ada beberapa cara, di antaranya:
Pertama: Rekomendasi dari sesama ahli ilmu.
Karena yang mengetahui kadar keilmuan seseorang adalah mereka yang juga berada pada tingkatan yang sama.
Kedua: Pengamatan selama beberapa waktu.
Di antara kebiasaan para salaf kita dulu ketika hendak mengambil ilmu dari seorang guru, maka mereka berdiam di daerah yang sama selama beberapa waktu untuk mengamati bagaimana keilmuan dan akhlak guru yang ingin mereka belajar dengannya.
‘Ala kulli hal, semoga Allah karuniakan taufik kepada kita untuk mendapatkan guru yang berilmu dan berakhlak mulia. Karena tidak ada kenikmatan yang lebih baik dalam proses belajar melebihi mendapatkan guru yang bertakwa kepada Allah, berilmu, dan berperangai mulia.
Tulis Komentar