Keluarga Besar Al Irsyad yg berbahagia…..
Idealnya seorang mukmin selalu bahagia dan jauh dari rasa gundah meskipun sejatinya kehidupannya penuh dengan masalah. Dengan modal dasar keimanan yang kuat yang dibangun di atas ilmu dan diaplikasikan dengan amal shalih niscaya hidupnya akan damai jauh dari perasaan gelisah, sedih berlebihan, resah memikirkan dunia yang tak seindah harapannya atau resah memikirkan kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan pada orang lain.
Mukmin yang yakin dengan kehidupan akhirat, isi hatinya akan tenang dan ibadahnya akan fokus karena yang dia kejar adalah kemuliaan akhirat atau surga dan dengan pahamnya dia bahwa dunia adalah ujian akan membuatnya tidak galau ketika ia menjumpai perkara-perkara yang tidak disukainya.
Dahulu ulama salaf berkata:
مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْبًا إِلَّا اذْهَبْ من الْعقل مَالا يَعُودُ إِلَيْهِ
“Tidaklah jiwa seseorang dirundung oleh rasa gundah karena memikirkan piutang yang tidak kuasa ia bayar melainkan perasaan itu menjadikannya tidak kuasa untuk berpikir dengan jernih.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 11/174)
Masalah hutang seringkali memicu hati gelisah, susah tidur, makan serasa tak enak dan jika tidak terbayar akan dituntut di akhirat. Karena hutang, hati tidak tenang saat berjumpa dengan si penghutang, ketika ditagih hati tidak nyaman apalagi saat belum ada uang untuk membayarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya hingga dibayarkan hutangnya.” (HR. Ahmad, 11/440 dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6779)
Jiwa akan damai ketika hidup terbebas dari hutang, meskipun kehidupannya serba sederhana. Berbeda dengan orang yang sekilas kehidupannya bahagia dan mewah namun sebenarnya hatinya gundah karena harus memikirkan setoran, terlebih lagi jika sistemnya riba.
Selain prahara hutang, ada lagi masalah yang membuat kepala pusing dan hati penuh penyakit lantaran hal ini sangat membebani hati, yaitu penyakit hasad. Sebagian ulama mengatakan:
اطول الناس هما الحسود و اهنئهم عيشا القنوع
“Orang yang paling banyak di rundung rasa gundah adalah orang yang paling besar rasa hasadnya dan orang yang paling bahagia kehidupannya adalah orang yang paling besar rasa qona’ahnya.” (Majmu’ Rasa`il oleh Ibnu Rajab 1/67)
Saat hati dihinggapi hasad atau iri hati kepada orang lain maka hatinya akan merana sedih, membenci orang lain karena kelebihan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Penyakit hasad hanya akan menyiksanya bahkan bisa memicu permusuhan dengan orang lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`: 32)
Jika kita ingin tenang lahir batin, maka ketika bisikan hasad datang, berupayalah menepisnya dan jangan biarkan hasad menguasai hati dengan memperbanyak istigfar dan menyibukkan hati dengan amalan yang bermanfaat.
Penyakit lain yang membuat hati resah ialah kurang mensyukuri nikmat dan merasa selalu kurang dengan karunia Allah Ta’ala. Orang yang tidak qana’ah dan selalu merasa kurang dengan pembagian rezeki akan berupaya mengejar dunia. Waktunya sibuk untuk mengejarnya dan mengesampingkan dirinya untuk memuliakan akhirat. Penyakit inilah yang membuatnya tidak lapang dada dan tidak berprasangka baik kepada Allah Ta’ala . Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura’: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, “Seandainya Dia memberikan kepada mereka rezeki di atas kebutuhan mereka niscaya hal ini akan membawa mereka berlaku sewenang-wenang dan saling menjauhi satu dengan yang lainnya karena angkuh dan sombong. Akan tetapi, Dia memberikan rezeki kepada mereka sesuai yang dipilih-Nya untuk kemaslahatan mereka. Dia Maha Mengetahui terutama hal tersebut. Dia menjadikan kaya orang yang berhak menerima kekayaan dan menjadikan kamu fakir kepada orang yang berhak menerima kefakiran.” (Tafsir Ibni Katsir (VII/206) Tahqiq Sami as-Salamah, Cet. Daar Thaybah)
Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang mukmin menjauhi tiga perkara, yakni berhutang, hasad, dan tidak qana’ah agar hidupnya terbebas dari perasaan gundah, gelisah, dan berbagai pikiran negatif supaya hatinya bahagia untuk semakin mendekatkan diri dengan tuntunan agama, beramal shalih lebih tekun, menghadiri majelis ilmu, serta berteman dengan orang-orang shalih agar terpacu menjadi orang yang lebih bertakwa.
Wassalam
Tulis Komentar